Penulis: NUR ROHIM
Mahasiswa DCC LAMPUNG KAMPUS METRO
Segala
puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam, sholawat dan salam buat Nabi
terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga
selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya
serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka
sampai hari kiamat.
Terjemahan Hadits:
“Dari Abu
Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah
shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman:
Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan
perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu
dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku
wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri
kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan
sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya
yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu
pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti
Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits
ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam
meriwayatkannya langsung dari Alloh, adapun perbedaan antara hadits
Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di
kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang
langsung dari Alloh adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan
maknanya dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara
hadits Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari
Alloh baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya
adalah Al Quran mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya,
adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya.
Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut
takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang
akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa ilmu. Wallohu
a’lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari
Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllohu
‘anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah
shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar
Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan
meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
Pertama,
berkat doa nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap
hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua,
ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya
kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang
lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta
mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang
bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak
mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak
kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak
dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu
yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan
hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan
pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung
hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang
miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa
sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak
meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari
Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila
ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllohu ‘alaihi
wa sallam.”
Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan
tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai
kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar,
umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya
sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri
beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji
bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh
sebab itu (demi Alloh) aku menjadi orang yang paling tahu dengan
hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Pertama: Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
Dalam
potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi
Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud
dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan
iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh
urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat
ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan
pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab
mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan,
tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan
secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi
antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad
Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin
dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh
kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan
bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana
kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian
orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap
orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat
manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan
membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam
memusuhi wali-wali Alloh adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka sangat
memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari
seluruh wali Alloh setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang
mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat
yang telah berjuang dijalan Alloh untuk tegaknya agama Islam ini dengan
harta dan jiwa raga mereka.
Imam As Sya’bi
mengungkapakan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Alloh melebihi
kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Alloh: ”Bila engkau
bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia
akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada
seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab:
sahabat Isa. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa
generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat
Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy
berkata, “Sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah,
tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang
menyampaikan Al Quran dan sunnah supaya bisa membatalkan Al Quran dan
Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka
itu adalah orang-orang zindiq.”
Cara ini pulalah yang
ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini,
kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita
kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar disetiap tempat dan
disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau
pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena
bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa
memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu
melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek
ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau
lagi mendengar nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran
dapat dimasukkam kepada mereka.
Sekarang kita kembali
kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Alloh
itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang
berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa
berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila
dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat
bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain
berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit
berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya
berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat
tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.
Pengertian Wali
Wali
secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut
pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman
lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa
seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan
wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama
diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para
rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah
Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh
tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka,
sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan
Mereka dengan Alloh.
Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Alloh terbagi kepada dua golongan:
Golongan
Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang
yang dekat dengan Alloh). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang
mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan
hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang
hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga
Aku mencintainya”.
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin
(golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal
yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan
hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana
yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: “Dan tidaklah seorang
hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku
cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”.
Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan firman-Nya:
“Adapun
jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia
memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika
ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan
kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
Kemudian para wali itu
terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali
Alloh dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali
ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya
benar menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Alloh sebaliknya
bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia
adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis
wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Alloh
Alloh telah
menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya
para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa
sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri
pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak
dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya
sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa.
Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang
yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang
membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Alloh. Seperti
menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Alloh, atau
menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari
hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau
berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat
bahwa Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul
dan nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan
apa yang diperintah Alloh dan menjauhi apa yang dilarang Alloh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal
yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka
oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia
meninggalkan beramal kepada Alloh maka ia termasuk pada jenis wali yang
kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk
shalat maupun zikir, dll.
Ciri-Ciri Wali Setan
Adapun
ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari
melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan.
Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi
wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya
diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta
dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini
tidak menghormati wali.
Sebagaimana Alloh terangkan dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
“Sesunguhnya
setan-setan itu mewahyukankan kepada wali-wali Mereka untuk
membantahmu, jika kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk
menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam: 121).
Sesungguhnya
menghormati wali bukanlah dengan berdo’a di kuburannya, justru ini
adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah
menyekutukannya dengan Alloh. Manakah yang lebih tinggi kehormatan
seorang wali disisi Alloh dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi
lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak
boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak
mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang
lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan
berbondong-bondong kekuburan nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam saat
Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi
kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin
Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian
menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan
nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam.
Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan
kehidupan di alam dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara
setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang
melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur
yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar
dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita
tidak mengikari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati
adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu
beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian
di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama
dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau
shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama’ah dan shalat jum’at?
adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian
seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat
berjamaah dan shalat jum’at.
Banyak orang berasumsi
bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa
dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan
atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang
diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang
atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu
tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari
setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya
apakah amalanya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana
dikatakan Imam Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas
air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.
Karena
setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberitahu para
walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal
yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu
pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka
sembah, pada hal itu adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian
yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang
yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.
Sebagaimana
yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi
‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa dia menerima
wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:
sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang
sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka
membaca firman Alloh:
“Maukah kamu Aku beritakan kepada
siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang
banyak dosa “. (Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca firman
Alloh, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali
Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh sebab
itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya
sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an dan Sunnah. Karena nabi
shalAllohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan
bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizy no: 2988).
Berkata
Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang
terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya
kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1.
Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala
kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
Banyak
orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak
kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini
sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para
ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para
nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita
shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti
bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau
bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Pemahaman
seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih
sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari
nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah) dan sebagian
dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan
sang kiyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh
sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata
melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila
seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum
susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya
berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan dokrin dalam
menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Bentuk
kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi
bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa
dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan
sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali
boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah
yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran
agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita
ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah
berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan:
“Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya
dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu
istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang
merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah.
Begitu pula Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang
paling mulia disisi Alloh waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan
mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju
besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai
syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Alloh kepada
seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk
menambah keyakinannya kepada ajaran Alloh, atau pertolongan dari Alloh
terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan
seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang
butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka
mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena
mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula
mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan
mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah.
Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya
bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk
kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa
Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak
belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci
yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al
An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di
langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali
Alloh”. (An Naml: 65).
Termasuk para nabi dan rasul
sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang
diwahyukan Alloh kepada mereka. Sebagaimana firman Alloh kepada Nabi
kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan
kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rezki Alloh, dan akupun tidak
mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50). Dan firman Alloh:
“Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula
(menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib
tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan
pernah ditimpa kejelekkan”. (Al A’raaf: 188).
Asumsi
sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan,
sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada
Alloh, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati yang Mereka
sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata.
Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan
kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang
kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa
Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada
Alloh. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang
disebutkan Alloh dalam firmannya: “Ingatlah milik Alloh-lah agama yang
suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain
Alloh berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka
mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”. (Az Zumar: 3).
Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
Hal
tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang
hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku
cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa
seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah
hingga Aku mencintainya”.
Manhaj yang benar dalam beribadah
Dalam
hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu
mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering
pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias
melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang
rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh
berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang
mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar
aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong
sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri
Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi
hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah:
“Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Yang
lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang
tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti maulid atau memperingati
tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’ mi’raj, sering kita
saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah tersebut yang
setiap hari selalu lalai mengerjakan sholat. Begitu pula dalam berdakwah
ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan
orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu
sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata
tampa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan
memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa
tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa
tauhid adalah tujuan utama dawah para rasul. Data dan fakta telah
membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang
dibawa Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam selama itu pula umat ini
akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik
berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa
yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”.
Beberapa kesalahan dalam melakukan ibadah.
Diantara
kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat
terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal
tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari
kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan,
kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat
ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan
sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana,
ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu
kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka
bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Kalau
para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik
yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang
ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam
agama, padahal baca al fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar
gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup
menggembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam
kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli
gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang
tidak tau dari mana rimbanya. Alloh telah berfirman:
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu
akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa: 36).
Sebaliknya
adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan
disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang
tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali
perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia
adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya
kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan?
Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya,
aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min
hadza haal. Alloh telah berfirman: “Apakah kamu menyuruh manusia dengan
kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab
taurat), apakah kamu tidak memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh
sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari
17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi
tidak beramal.
“Ya Alloh tujukilah kami Jalan yang
lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada
mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan
orang-orang yang sesat”. (Al Fatihah: 6-7).
Ayat ini
ditafsirkan oleh nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang
yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui
kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan
orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal
tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian
diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh
kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah
sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila
seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya.
Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh
memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan,
maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun
memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh
malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima
di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian
diantara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan
wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan
amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya
kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam
shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud.
Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut,
seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan
membaca Al Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu
pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah
berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku
adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam
berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai
dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut.
Maka disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan
amalan yang akan kita lakukan.
Ketiga: Tentang sifat Alloh Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
Hal
tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku
mencintainya”.
Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan sifat-sifat Alloh.
Dalam
mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan
Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari
nash-nash Al Quran dan Hadits:
1.Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shohih.
2.Tidak menyerupakan sifat-sifat Alloh tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
3.Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai berikut;
Bila
kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan
Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi
wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang
dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir.
Sebagaimana firman Alloh:
“Sesungguhnya orang-orang
yang kafir dengan Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan
antara Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman
dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka
bermaksud mengambil jalan tengah diantara yang demikian”. (An Nisaa:
150).
Dan firman Alloh lagi:
“Apakah kamu beriman
dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada
balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan
dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang
amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”.
(Al Baqarah: 85).
Kaedah pertama ini juga menunjukkan
kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Alloh adalah
sebatas adanya nash dari Al Qu’an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah
ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau
hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Alloh.
Bila
seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari
Alloh dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah
maksud dari perkataan Alloh dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum
Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Alloh dan rasul-Nya.
Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).
Begitu
pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Alloh dengan sifat-sifat
makhluk, berarti ia menyerupakan Alloh yang Maha Sempurna dengan makhluk
yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Alloh dengan makhluk adalah
kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Alloh. Sebagaimana
firman Alloh:
“Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (Asy Syura: 11).
Dan firman Alloh: ِ
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
Begitu
pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut.
Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifatnya.
Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu
sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa
mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh)
manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun yang mengetahui hakikat
sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada. tetapi mereka
tidak mampu mengetahui hakikatnya.
Jadi dalam sifat
Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan
ditunutut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat
hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama
seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama
dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayab
burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayab burung dan
sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa
hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama
makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang
Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh
kekurangan dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarnya tidak
seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha
Sempurna. Maka pendengar Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran.
Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak
bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat
Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara. Ada orang
yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya tenggorokan,
kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut.
Pertama ia menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia
lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia
mengerti dari semula bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala
sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk
yang berbicara tampa mesti memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu
yang memberi salam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti
diakhiratrkepada nabi tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi
saksi atas perbuatan Mereka tampa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu
yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut
zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.
Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
Hal
tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya
yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk
berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Kata-kata
“senantiasa” menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesenambungan yang
lebih dikenal dalam istilah syar’i “Istiqomah” dalam melakukan
amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan:
“Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit”. Tapi
sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat saja, kemudian
lalu ditinggalkan.
Maksud hadits ini adalah bila
seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat
pringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh peringkat ini Allah
menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia
maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan ‘inayah kepadanya untuk
melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata seseorang tersebut
terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang
diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno,
dsb. tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau
membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan,
tenik, pertanian dst. Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari
mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian.
Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau kemaslahatan
ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di kampus dan
disekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan
sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan,
penganiayaaan, KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah
untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun
orang lain. Maka dapat kita simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat
menuntun seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga
seorang muslim dari ketejerumusan kepada kemaksiatan.
Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
“Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).
Hal
ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau: “Sesungguhnya
kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu
menunjukan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur
hingga dicatat di sisi Allah sebagaia orang yang paling jujur. Dan
sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya
kemaksiata itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang
senantiasa berbohong samapai dicatat di sisi Allah sebagai seoranga yang
paling bohong”. (HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no: 2607).
Dalam hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri”.
Maka
jika amalannya baik, maka balasanya pun baik dan sebaliknya bila amalan
tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama
mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal shaleh
yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan
diterima disisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan.
Kekeliruan orang sufi dalam memahami makna hadits ini.
Sebagian
orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok
eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma
dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan
paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang
membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang,
pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan.
Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang
terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya
kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa
kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak
perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat
ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya
kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau
benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah
hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini
adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari
kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang
mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata
kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan
makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan
Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam
hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Seperti
yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata: “Dan jika ia
meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia
memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Jadi
jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang
memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon
perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab
itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk
kebatilannya dengan Al Qur’an atau hadits shohih, maka sesungguhnya
dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban untuk menunjukkan
kebatilannya.
Manhaj ulama dalam memahami nas-nas yang mutsyabih (meragukan).
Perlu
pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan
suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan
adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada
dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah
“Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal”
(mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang
global kepada yang rinci).
Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hal
tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu
pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu
pasti Aku akan melindunginya”.
Dari potongan yang
terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan memohon
perlindungan hanya kepada Alloh. Bukan kepada para wali, begitu pula
wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi Alloh bukanlah tempat
untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan
dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang
awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret
mereka berbuat syirik kepada Alloh. Sekalipun wali namun ia tetap tidak
bisa mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri
kecuali atas pemberian Alloh kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat
perantara kepada Alloh dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka
sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan mereka dengan Alloh.
Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh ‘alaihissalam yang telah menjadikan
orang-orang sholeh mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada
Alloh.
Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali
Alloh, bahwa Alloh selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang
tersebut serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu
mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita
melihat kadangkala para wali Alloh itu juga ditimpa kejelekkan dan
penyakit seperti nabi Ayub yang ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita
Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam
perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik ditingkat
para nabi dan rasul maupun ditinggkat para sahabat dan Tabi’iin?.
Jawabannya adalah sebagaimana berikut:
1.Diantara
hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa
tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi
pengkultusan terhadap mereka.
2.Diantara hikmahnya juga
adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Alloh, sebagai balasan
atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut.
Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya: “Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat
keimanannya”. (HR. At Tirmizy no: 2398).
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
3.Diantara
hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di
muka bumi ini adalah atas kehendak Alloh, dan tidak ada sedikitpun
campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.
Kekeliruan sebagian orang dalam masalah berdoa.
Ada
beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan
sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a
dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita
berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah
saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali
diantaranya:
Pertama: Berdoa merupakan perintah dari
Alloh, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Alloh tidak akan
menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua:
Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para
nabi dan rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad
shalAllohu ‘alaihi wa sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa
adalah perbuatan sia-sia tentu Mereka tidak akan melakukannya apa lagi
menganjurkannya.
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan
sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana
yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
“Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”.
(HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Keempat: Doa
adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Alloh ada dua: Takdir
kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir
kauniyah adalah ketentuan Alloh yang mesti terjadi pada setiap makhluk
tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai
Alloh. Adapun takdir syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala
perintah Alloh yang diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi,
dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Alloh. Oleh sebab itu yang harus
kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar’iah
sebagaimana yang terangakan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul
mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir Alloh kepada Takdir
Alloh”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu menggembala
kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan
mencari padang rumput yang subur?.
Kelima: Doa adalah
sebagai sebab yang diperintahkan Alloh untuk dilakukan, sebagaimana
makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab
berarti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung
kepada sebab semata adalah syirik.
Kemudian diantara
kesalahan lain dalam berdo’a adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu
melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Alloh menjadikan
gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Alloh memberinya
keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka diantara sikap wali
Alloh adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam
berdoa.
Ringkasan kandungan hadits wali:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
1.Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri.
2.Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
3.Tentang sifat Alloh ; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
4.Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
5.Balasan yang diberikan Alloh untuk orang yang selalu taat pada Alloh.
6.Hadits
diatas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk
menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh yang hak.
7.Kemudian
hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu
memusuhi musuh-musuh Alloh karena tidak akan mungkin seseorang menjadi
wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh sementara ia juga
berloyalitas kepada musuh Alloh atau kepada musuh para wali Alloh. Ini
sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti
ia belum menjadikan Alloh sebagai wali karena ia mencintai apa yang
dibenci Alloh. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang
calegnya dari non muslim.
Wallohu A’lam bisshawaab
Selawat
dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam,
keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang
teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar