Judul Asli: Ikhlas dan Bahaya Riya
Penulis: Ustadz Firanda
“Dari
Amirul mu’minin Umar bin Al-Khotthob rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya
amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang
apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan
RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan
barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang
hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR.
Al-Bukhari: 1).
Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Kalau
seandainya aku menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab maka aku
akan menjadikan hadits Umar bin Al-Khattab yaitu hadits Al A’maalu bin
Niyyaat di setiap bab” (Jami’ul Ulum 1/8).
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah sepertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Imam
Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam ada tiga hadits, hadits Umar
rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal-amal itu berdasarkan niatnya”, hadits
‘Aisyah rodiallahu’anha, Barangsiapa yang berbuat perkara-perkara yang
baru dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia tertolak” dan hadits
Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang halal jelas dan yang haram
jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Sesungguhnya pembahasan
tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan
dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah
inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang
murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah
agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara
apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada
Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah
dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah
tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang
diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni)
untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada
pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala
(ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini
sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang
artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak
butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku
lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka
Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu
Majah 2/1405 no. 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana
perkataan Syaikh Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim
(4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan dia dan ksyirikannya”).
Berkata
Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam
konteks kalimat syart maka memberi faedah keumuman sehingga mencakup
seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun
amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta (seperti haji dan
jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).
Definisi ikhlas menurut etimologi (menurut peletakan bahasa)
Ikhlas
menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan
hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika
sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan
“harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun
yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana
firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam,
Dan perempuan mu’min yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab:
50).
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada
apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An
Nahl: 66).
Maka tatkala mereka berputus asa daripada
(putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan
berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu
ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan
nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu
aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan
kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan
Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para
saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa
ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)
Syaikh
Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan
ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara
mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan
hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang
beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan
kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah
“membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang
melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari
memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar)
mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan
amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu
untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap
muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan
manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun
hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang
jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak
meridhoimu).
Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah
“samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada
di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang
hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini
derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang
lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik
dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau
menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun
menghiasi hatimu dihadapan Robbmu.
Ada juga yang
mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan
selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang
memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu
seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka
sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia
dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya)
maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari
pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu
hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah
karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan
perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan
engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada
makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah,
dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada
hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang
berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan
oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).
Berkata
Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan
amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada
Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan
oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.
Katakanlah,
“Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Yaitu
dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang
membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk
mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada
diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa
kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka
disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah
masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau
masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka
mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa
amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka
telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat
menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit
hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang
berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku
lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya
dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka,
dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid
adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian
berhati-hati…” (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas).
Syuhroh (Popularitas)
Ketenaran
(popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela
mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para
bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik
perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang
aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas
(sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk
berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya
tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya,
“awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah.
Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi
min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut
dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan
lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang
didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).
Sebagaimana
yang kita saksikan sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang
dilakukan oleh manusia sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita
lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, ada yang
kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga
bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah dilihat oleh Syaikh
Abdur Rozaq), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun
sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air
yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umroh), ada yang
dipotong seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada
yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang
seluruh kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang
sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh.
Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah telinga, hiasan leher,
apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran.
Demi Allah, seandainya salah mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada
manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman
binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan hal-hal aneh
yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang memperhatikannya.
Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal diantara para hewan.
Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.
Penyakit
cinta ketenaran ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak
mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli
ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda,
namun hakekatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga pingin
kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang
lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang
yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi dihadapan manusia.
Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin
dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang).
Manusia
begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka
tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan
sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan
kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada
mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya
mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan
itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat
karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang
mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat
mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar
yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan
hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi
Allah. Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan
kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni ,
“Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan
Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh
Dimasyq (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45).
Dalam
riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab
Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu
sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah
engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu
apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang
bahagia (masuk surga)”.
Berkata Syaikh Abdul Malik,
“Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??,
hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita
sebagaimana yang dikehendaki Allah” (Dari ceramah beliau yang berjuduk
ikhlas).
Oleh karena itu banyak para imam salaf yang
benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut
oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal
ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati
mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.
Berkata
Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani),
maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang
sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan
cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak
dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan)
mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni:
“Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah
wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)).
Berkata
Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela
gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa
musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210).
Tatkala sampai
berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata:
“Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”. (As-Siyar 11/211).
Imam
Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau:
“Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang
yang riya”. (As-Siyar 11/211).
Pernah Imam Ahmad
mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar)
tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu
Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat
baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).
Berkata
Hammad, “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun
perkata padanya, “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab:
”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari keramaian
manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka
menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub.
Maka Ayyub berkata: ”Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya
tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui
bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.” Berkata Syaikh Abdul Malik:
”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan
sanadnya shahih”. (Sittu Duror hal 47).
Berkata Abu
Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr, “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia
untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung
datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata:
”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak
seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: ”Dimana Yazid bin
Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini
hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata
Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan
bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara
dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah,
sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu
tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan
yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya.
Kemudian dia berkata: ”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku
menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan
tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.” Lihat
takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh
Abdul Malik Romadloni hal. 47.
Lihatlah wahai
saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan
ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar
terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah
penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan
meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar.. ! inilah akhlak salaf (Berkata
Guru kami Syaikh Abdul Qoyyum, “Adapun orang-orang yang memerintahkan
para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu ia
berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal”). Namun banyak
orang yang terbalik, mereka malah menjadikan ketenaran merupakan
kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya
dengan berbagai macm cara.
Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali,
beliau berkata: ”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya
pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata, ”Sesungguhnya
sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”. Ini merupakan
hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat,
seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu
Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin
Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya hadits ini dengan
jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak
diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli
hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908).
Dan
dari ‘Amr bin Tsabit berkata, ”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka
memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu
mereka bertanya: ”Apa ini”, lalu dijawab: ”Beliau selalu memikul
berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir
miskin yang ada di Madinah”.
Berkata Ibnu ‘Aisyah:
”Ayahku berkata kepadaku: ”Saya mendengar penduduk Madinah berkata:
”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga
meninggalnya Ali bin Husain” Lihat ketiga atsar tersebut dalam Sifatus
Sofwah (2/96), Aina Nahnu hal. 9.
Lihatlah bagaimana
Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk Madinah tidak
ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah
yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga
menemukan tanda hitam di pundak beliau.
Seseorang
bertanya pada Tamim Ad-Dari ”Bagaimana sholat malam engkau”, maka
marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat
saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku
sukai daripada aku sholat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada
manusia” (Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam Ahmad).
Tidak
seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat
dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau
memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun
sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhnya (kecuali yang
dirahmati oleh Allah), Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit,
namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia
mengetahuinya). Ada yang berkata, ”Dakwah saya disana…, disini…”, ada
juga yang berkata,”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan
sekian…” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan,
atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu.
Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak
dia ceritakan, atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga
tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia
adalah da’i favorit), ada yang berkata, “Saya sudah baca kitab ini,
kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab
itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir,
atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu.
Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar
mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang
mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan
penghormatan dari manusia.
Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak
membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga
dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun
sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan
pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya,
bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya,
atau perkara yang lainnya.
Ayyub As-Sikhtiyani sholat
sepanjang malam, dan jika menjelang fajar maka dia kembali untuk
berbaring di tempat tidurnya. Dan jika telah terbit fajar maka diapun
mengangkat suaranya seakan-akan dia baru saja bangun pada saat itu.
(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/8).
Berkata
Muhammad bin A’yun, ”Aku bersama Abdullah bin Mubarok dalam peperangan
di negeri Rum. Tatkala kami selesai sholat isya’ Ibnul Mubarok pun
merebahkan kepalanya untuk menampakkan padaku bahwa dia sudah tertidur.
Maka akupun –bersama tombakku yang ada ditanganku- menggenggam tombakku
dan meletakkan kepalaku diatas tombak tersebut, seakan-akan aku juga
sudah tertidur. Maka Ibnul Mubarok menyangka bahwa aku sudah tertidur,
maka diapun bangun diam-diam agar tidak ada sorangpun dari pasukan yang
mendengarnya lalu sholat malam hingga terbit fajar. Dan tatkala telah
terbit fajar maka diapun datang untuk membagunkan aku karena dia
menyangka aku tidur, seraya berkata “Ya Muhammad bangunlah!”, Akupun
berkata: ”Sesungguhnya aku tidak tidur”. Tatkala Ibnul Mubarok mendengar
hal ini dan mengetahui bahwa aku telah melihat sholat malamnya maka
semenjak itu aku tidak pernah melihatnya lagi berbicara denganku. Dan
tidak pernah juga ramah padaku pada setiap peperangannya. Seakan-akan
dia tidak suka tatkala mengetahui bahwa aku mengetahui sholat malamnya
itu, dan hal itu selalu nampak di wajahnya hingga beliau wafat. Aku
tidak pernah melihat orang yang lebih menymbunyikan kebaikan-kebaikannya
daripada Ibnul Mubarok” (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim 1/266).
Wahai
saudaraku, ketahuilah… sesungguhnya ikhlas adalah sesuatu yang sangat
berat, penuh perjuangan untuk bisa meraihnya. Pintu-pintu yang bisa
dimasuki syaitan untuk bisa merusak keikhlasan kita terlalu banyak.
Tatkala kita sedang beramal maka syaitanpun berusaha untuk bisa
menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita riya’ di
permulaan amal, maka dia akan berusaha agar kita riya’ di pertengahan
amal. Kalau tidak mampu lagi maka di akhir amalan kita. Oleh karena itu
kita dapati para salaf dahulu memngecek niat mereka ditengah amalan
mereka, apakah masih tetap ikhlas atau sudah berubah?. Diriwayatkan dari
Sualaiman bin Dawud Al-Hasyimi: ”Terkadang saya menyampaikan sebuah
hadits dan niat saya ikhlas, (namun) tatkala saya sampaikan sebagian
hadits tersebut berubahlah niat saya, ternyata satu hadits saja
membutuhkan banyak niat” Disebutkan oleh Al-Khotib Al-Bagdadi dalam
Tarikh beliau (9/31), Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (11/412), dan
Ad-Dazahabi dalam Siyar (10/625), lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal 83,
tahqiq Al-Arnauth).
Lihatlah bagaimana hati-hatinya
salaf dalam menjaga niat mereka, untuk bisa menyampaikan satu hadits
saja (yang mungkin hanya beberapa buah kata) dia memperhatikan niatnya
berulang-ulang. Bagaimana dengan kita sekarang? Bukan cuma
berpuluh-puluh kata yang kita lontarkan, bahkan beribu-ribu kata
(tatkala mengisi pengajian, atau memberi pendapat atau nasehat tatkala
diminta, atau yang lainnya…) pernahkah kita mengecek niat kita
disela-sela pembicaraan kita??. Terkadang seseorang di awal sedang
mengisi pengajian, dia mendapati niatnya ikhlas. Namun tatkala di tengah
pengajian, disaat dia memandang bagaimana para pendengarnya
terkagum-kagum dengan kefasihannya melontarkan dalil disaat itulah
syaitan berperan aktif untuk merubah niatnya. Waspadalah wahai para
saudaraku… sesungguhnya hanya sedikit yang selamat dari tipu daya
syaitan.
Sungguh benarlah perkataan Sufyan Ats-Tsauri,
”Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada niat,
karena niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)” (Hilyatul Auliya (7/ hal 5
dan 62), lihat Jami’ul ‘Ulul wal Hikam hal 70, tahqiq Al-Arnauth).
Kalau
seseorang telah selamat dari tipu daya syaitan hingga selesai amalnya,
ingatlah…syaitan tidak putus asa. Dia mulai menggelitik hati orang
tersebut dan merayu orang tersebut untuk menceritakan amalan solehnya
pada manusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, ”Ini bukanlah riya…,
supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya terjebaklah orang
tersebut dan diapun mengungkapkan kebaikan-kebaikannya dihadapan orang,
maka bisa jadi diapun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada manusia
karena riya’, maka ini merupakan kecelakaan baginya, atau kalau tidak
maka minimal pahalanya berkurang. Karena pahala amalan yang sirr
(disembunyikan) lebih baik daripada amalan yang diketahui orang lain.
Allah berfirman, yang artinya:
“Jika
kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika
kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir
maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan
menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah
maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
Berkata
Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, ”Asalnya isror (amalan secara tersembunyi
tanpa diketahui orang lain) adalah lebih afdol dengan dalil ayat ini dan
hadits dalam shohihain (Bukhori dan Muslim) dari Abu Huroiroh, beliau
berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh golongan yang berada dibawah
naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah,
Imam yang adil, dan seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya
hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan
kanannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim (2377). Berkata
Imam Nawawi: ”Berkata para Ulama bahwanya penyebutan tangan kanan dan
kiri menunjukan kesungguhan dan sangat dismbunyikannya serta tidak
diketuhinya sedekah. Perumpamaan dengan kedua tangan tersebut karena
dekatnya tangan kanan dengan tangan kiri, dan tangan kanan selalu
menyertai tangan kiri. Dan maknanya adalah seandainya tangan kiri itu
seorang laki-laki yang terjaga maka dia tidak akan mengetahui apa yang
diinfak oleh tangan kanan karena saking disembunyikannya.” (Al-Minhaj
7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr (Al-Fath 2/191).
Rosulullah
bersabda: ”Tatkala Allah menciptakan bumi, bumi tersebut
bergoyang-goyang, maka Allah pun menciptakan gunung-gunung kalau Allah
lemparkan gunung-gunung tersebut di atas bumi maka tenanglah bumi. Maka
para malaikatpun terkagum-kagum dengan penciptaan gunung, mereka
berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk Mu yang lebih kuat
dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka bertanya
(lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat
dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”, mereka bertanya (lagi),
”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk Mu yang lebih kuat dari pada
api?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai
Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah
menjawab, ”Ada yaitu air” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami,
apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab,
”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada
makhlukMu yang lebih kuat dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu
seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya lalu dia
sembunyikan agar tidak diketahui tangan kanannya”. Diriwayatkan oleh
Imam Ahamad dalam Musnadnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik. Berkata
Ibnu Hajar, ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath
2/191).
Sungguh benar orang yang berkata, “Jangan heran
kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, karena
syaitan juga bisa berjalan di atas air. Janganlah heran kalau engkau
melihat seorang yang berjalan terbang diudara, karena syaitan juga bisa
terbang di udara. Tapi heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang
bersedekah dengan tangan kanannya namun tangan kirinya tidak
mengetahuinya, karena syaitan tidak bersedekah (apalagi dengan ikhlas)
(Untaian kalimat ini, penulis tidak mengetahui siapa yang
mengucapkannya. Namun penulis pernah mendengarnya dari seorang petugas
penjaga mushola dikapal laut, tatkala menyampaikan nasehat pada awak
penumpang kapal. Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkataan ini
pertama kali. Namun bagaimanapun perkataan ini benar maknanya jika
ditinjau dari kacamata syar’i, Wallahu A’lam).
Ingat
perkataan Ibnul Qoyyim, “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati
bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk
memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya
air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan,
hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati (manusia)
tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.
Hukum menyembunyikan amal
Para
ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan
(karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi
amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu
Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah
yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara
tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath
3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan
teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk
beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari
riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan
mereka yang kuat.
Imam Al-Iz bin Abdus Salam telah
menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci
sebagai berikut. Beliau berkata, “Keta’atan (pada Allah) ada tiga:
1.
Yang
pertama, adalah amalan yang disyariatkan secara dengan dinampakan
seperti adzan, iqomat, bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara
jahr, khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan sholat jumat
dan sholat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad,
mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, maka hal-hal
seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan
tersebut takut riya, maka hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh
untuk menolaknya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa
melaksanakannya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan
mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya
menolak riya, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang
lain.
2.
Yang kedua, amalan yang jika diamalkan
secara tersembunyi lebih afdhol dari pada jika dinampakkan. Contohnya
seperti membaca qiro’ah secara perlahan tatkala sholat (yaitu sholat
yang tidak disyari’atkan untuk menjahrkan qiro’ah), dan berdzikir dalam
sholat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika
dijahrkan.
3.
Yang ketiga, amalan yang terkadang
disembunyikan dan terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia
kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia
nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut
disembunyikan lebih baik daripada jika dinampakkan.
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaannya:
1.
Yang
pertama, dia bukanlah termasuk orang yang diikuti, maka lebih baik dia
menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala
menampakkan sedekahnya.
2.
Yang kedua, dia
merupakan orang yang dicontohi, maka dia menampakan sedekahnya lebih
baik karena hal itu membantu fakir miskin dan dia akan diikuti. Maka dia
telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia
juga menyebabkan orang-orang kaya bersedekah pada fakir miskin karena
mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya
tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.” Qowa’idul Ahkam 1/125
(Sebagaimana dinukil oleh Sulaiman Al-Asyqor dal kitabnya Al-Ikhlash hal
128-129).
Tentunya kita lebih mengetahui diri kita, kita termasuk orang yang aman dari riya atau tidak.
Mengobati penyakit cinta ketenaran
Berkata
Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka
tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti
akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar
Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan
Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).
Berkata
Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((“Untaian kalimat ini adalah madrasah
(pelajaran), dan hal ini tidak diragukan lagi karena tersohornya
seseorang mungkin terjadi jika orang tersebut memiliki kelebihan
diantara manusia, bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa
jadi orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berjalan di
belakangnya. Seseorang jika semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah
maka ia akan sadar dan mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak,
dan sangat banyak. Oleh karena tidaklah suatu hal yang mengherankan
jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Bakar
–padahal ia adalah orang yang terbaik dari umat ini dari para sahabat
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam - yang selalu membenarkan (apa yang
dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang
iman Abu Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih berat iman Abu
Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk
berdo’a di akhir sholatnya, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak
mendzolimi diriku dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau
maka ampunilah aku dengan pengampunanMu”. Yang mewasiatkan adalah Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar
As-Shiddiq. Semakin bertambah ma’rifat seorang hamba kepada Robnya maka
ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari
belakang, khawatir ia diagungkan diantara manusia, khawatir
diangkat-angkat diantara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah
sehingga dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak
Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan
salah satu bentuk dosa.
Diantara manusia ada yang
merupakan qori’ Al-Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya,
keindahan bacaannya, maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya.
Diantara manusia ada yang alim, tersohor dengan ilmunya, dengan
fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, kewaro’annya, maka orang-orangpun
berkumpul di sekelilingnya.
Diantara mereka ada yang
menjadi da’i yang terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam
berdakwah maka orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya karena Allah
telah memberi petunjuk kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga
ada yang terkenal dengan sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada
yang tersohor dengan sikapnya yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar,
dan demikianlah… Posisi terkenalnya seseorang merupakan posisi yang
sangat mudah menggelincirkan seseorang, oleh karena itu Ibnu Mas’ud
mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan keadaan dirinya
(yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi setiap
orang yang memiliki pengikut…
Hendaknya setiap orang
yang tersohor (dengan kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang
untuk selalu merendahkan dirinya diantara manusia dan menampakkan hal
itu, bukan malah untuk semakin naik derajatnya di hadapan manusia namun
agar semakin terangkat derajatnya di hadapan Allah, dan ini semua
kembali kepada keikhlasan, karena diantara manusia ada yang merendahkan
dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini adalah termasuk
(tipuan) syaitan. Dan diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di
hadapan manusia dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar dengan
sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana
dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa
yang ada disimpan di hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan
Allah dan mereka tidak bisa menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan
Allah.
Ini adalah pelajaran yang berharga bagi setiap
yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia tahu
bahwa orang yang diikutinya itu tidak boleh diagungkan, namun hanyalah
diambil faedah darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil
oleh masyarakat, karena yang diagungkan hanyalah Allah kemudian
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun manusia yang lain maka
jika mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada diri kita. Dan
hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, rendah, dan mengingat
dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, ingat
bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di
belakangnya.
Oleh karena itu tatkala Abu Bakar dipuji
di hadapan manusia maka ia berkutbah setelah itu dan riwayat ini shahih
sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata:
“Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan
dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa
ini dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa
sehingga mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Apakah hal ini
sebagaimana yang kita lihat pada kenyataan dimana orang yang diagungkan
semakin menjadi-jadi agar diagungkan dirinya??, orang yang mengagungkan
juga semakin mengagungkan orang yang diikutinya?? Ini bukanlah jalan
para sahabat radhiallahu ‘anhum, Umar terkadang ujub dengan dirinya -dan
dia adalah seorang khalifah, orang kedua yang dikabarkan dengan masuk
surga setelah Abu Bakar-, maka ia pun memikul suatu barang di tengah
pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa dirinya besar.
Diantara
kesalahan-kesalahan adalah sifat ujub (takjub dengan diri sendiri),
yaitu seseorang memandang dirinya waw (hebat). Ada diantara salafus
shalih yang jika hendak menyampaikan suatu (mau’idzoh) dan jika ia
melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan majelis tersebut,
kenapa?, karena keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan keselamatan
jiwa orang lain, karena ia melihat ramainya orang yang telah berkumpul
dan ia menyadari bahwa dirinya mulai merasakan bahwa dirinya senang
karena kehadiran mereka, yang pada diam memperhatikannya, dan
memperhatikannya, maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan
mereka maka merekapun membicarakannya akibat hal tersebut, Namun yang
paling penting adalah keselamatan jiwa dan hatinya dihadapan Allah. Dan
keselamatan hatinya lebih utama dibandingkan keselamatan hati orang
lain…”)). (Dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul Waqofaat
ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud).
Riya itu samar
Sungguh
benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar
sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah
melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang
selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia
terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada
jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka
tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya
hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan
manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Berkata Abu
‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan
Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah
hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail,
“Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan)
kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata kepadanya,
“Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini
adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa
wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih
perkataanmu yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan
akupun telah memilih perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan
kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan aku pun telah
berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada
tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan aku
semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404).
Perhatikanlah
wahai saudaraku… sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beruntung yang
memperhatikan gerak-gerik hatinya, yang selalu memperhatikan niatnya.
Terlalu banyak orang yang lalai dari hal ini kecuali yang diberi taufik
oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan memandang kebaikan-kebaikan
mereka pada hari kiamat menjadi kejelekan-kejelekan, dan mereka itulah
yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya.
“Dan
(jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat
dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu
memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zumar: 48).
“Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al
Kahfy: 104).
Maroji’:
1. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh, cetakan pertama Tahun 2000 masehi
2. Al-Minhaj syarh Sohih Muslim, Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah
3. Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, tahqiq Al-Arnauth
4. Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, Syaikh Abdul Malik Romadhoni, maktabah Al-Asholah
5. Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama
6. Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi
7. Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais
8. Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani
9. Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf, Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil, Dar Toibah
10.Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, transkrip dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh
11. Tazkiyatun Nufus, Ahmad Farid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar