Sabtu, 13 September 2014

Fiqih Nasehat



Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”

Takhrij Hadits Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.

Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.

Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).

Biografi Periwayat Hadits

Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].

Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini sebagai salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih Muslim (hadits no. 2942).

Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu hadits ini. Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah meridhai beliau. (Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab (I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39), dll).

Makna Kata dan Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.

Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu) yang memiliki beberapa pengertian.

a. (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab (II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :

(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim (II/33)).

b. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti ‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) dan Syarah Shahih Muslim (II/33).

Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) dan Syarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).

Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).

Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203) dan Fathul Bari (I/167)).

Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya, seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim (II/32)).

Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam, Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).

MACAM-MACAM NASEHAT

“Agama (Islam) itu adalah nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).

Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah’.

Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian agama.” (Fathul Bari (I/167))

“Nasehat bagi Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.

Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih Muslim (II/33), dan lihat I’lamul-Hadits (I/191)).

“Nasehat bagi Kitab Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar